• Selasa, 26 September 2023

Mengembalikan Ruang Aman Perempuan Berdasar Syariat Islam

- Selasa, 27 Desember 2022 | 16:59 WIB
Kaum perempuan Afghanistan melakukan aksi protes, setelah Taliban melarang mereka untuk kuliah (Twitter/@NasimiShabnam)
Kaum perempuan Afghanistan melakukan aksi protes, setelah Taliban melarang mereka untuk kuliah (Twitter/@NasimiShabnam)

 

Perempuan adalah bagian integral dari masyarakat, dan mereka memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan.

Adapun pada masa lalu, posisi dan peran perempuan masih dipertanyakan. Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya.

Filosof Demosthenes berpendapat istri hanya berfungsi melahirkan anak, Filosof lainnya, Plato menilai, kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah.

Sedangkan 'kehormatan' perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan hina sambil terdiam tanpa bicara. Kondisi yang sama terjadi di Eropa.

Baca Juga: Presiden Jokowi Resmikan Bendungan Sadawarna, Apa Manfaatnya Untuk Sumedang

Pada tahun 586 M (sebelum datangnya Islam), agamawan di Perancis masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak? Apakah mereka juga dapat masuk ke surga? Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan: perempuan memiliki jiwa, tapi tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki yang bebas diperjualbelikan.

Demikian pula di masa Jahiliyyah, kehadiran bayi perempuan dianggap aib yang perlu segera dimusnahkan, dengan dikubur meski hidup-hidup.

Kini, yang sering disebut zaman moderen, upaya memaknai perempuan baik dari posisi dan perannya terus bergulir.

Di sisi lain, diskriminasi terhadap perempuan dianggap masih berlanjut. Maka, berbagai upaya dilakukan dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan, namun belum membuahkan solusi. Alhasil, kekerasan terhadap perempuan masih kerap terjadi.

Baca Juga: Khabar Baik! Tahun 2023 Akan Dilakukan Konversi Angkot ke Bus di Bandung Raya, Ridwan Kamil: Atasi Kemacetan

Pemberian hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki juga dianggap upaya dalam mengangkat harkat perempuan. Budaya patriarki dianggap biang keladi marginalisasi perempuan. Maka, gagasan 30% perempuan duduk di parlemen diaggap solusi.

Tampaknya, 'perseteruan' tentang perempuan tidak akan berujung, jika paradigma yang digunakan berpeluang diskriminatif terhadap salah satu pihak.

Dan yang paling logis, adalah menyerahkan pandangan tentang perempuan kepada Zat Maha Adil, Dialah Pencipta Allah SWT.

Halaman:

Editor: Rauf Nuryama

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Lemahnya Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Gempa

Sabtu, 14 Januari 2023 | 08:07 WIB

Menilik Makna Penamaan Masjid Al-Jabbar

Kamis, 5 Januari 2023 | 14:10 WIB

PPKM Dicabut, Subvarian Baru Masuk!

Kamis, 5 Januari 2023 | 13:51 WIB

Islam Menciptakan Kerukunan Beragama Yes, Pluralisme No!

Selasa, 27 Desember 2022 | 17:09 WIB

Pesta Mewah disaat Rakyat Susah, benarkah Amanah?

Minggu, 18 Desember 2022 | 13:05 WIB

Benarkah ada Risalah Kebangkitan di Piala Dunia?

Rabu, 14 Desember 2022 | 10:44 WIB

Geng Motor vs Zaid bin Tsabit

Senin, 28 November 2022 | 10:59 WIB

Hati-Hati Liburan, Selain Hujan ada Juga Angin Kencang

Sabtu, 26 Februari 2022 | 16:56 WIB

Bentuk dan Arti Marka Jalan Yang Penting Kamu Ketahui!

Sabtu, 26 Februari 2022 | 15:49 WIB
X