Perempuan tak Butuh Kampanye Antikekerasan tetapi Solusi Tuntas

- Sabtu, 3 Desember 2022 | 19:01 WIB
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional, Perempuan Butuh Solusi (Freepik)
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional, Perempuan Butuh Solusi (Freepik)

 

JurnalismeWarga.TiNewss.Com - Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) sedunia, pertama pada 1991 yang diinisiasi oleh Global Women's Institute. Kampanye ini bertujuan untuk mendorong negara di seluruh dunia untuk melakukan berbagai upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan.

Di Indonesia sendiri, keterlibatan kampanye tersebut oleh Komnas Perempuan dimulai sejak 2001. Meskipun, kampanye antikekerasan dilakukan tiap tahunnya oleh lembaga baik di tingkat nasional bahkan internasional, nyatanya kondisi perempuan dari waktu ke waktu tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik.

CATAHU 2022, terjadi lonjakan pengaduan ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan BADILAG. Peningkatan tajam 50% kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan pada 2021 sebanyak 338.496 kasus dari 226.062 pada 2020.

Dengan rincian pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan data BADILAG 327.629 kasus. (Komnasperempuan.go.id, 8/3/2022)

Adapun, sebab kampanye tersebut berlangsung selama 16 hari karena dimulai sejak 25 November (HAKTP Internasional) dan berakhir pada 10 Desember sebagai Hari HAM Internasional.

Rentang waktu tersebut merupakan simbolik yang menghubungkan antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Artinya, kekerasan terhadap perempuan termasuk pelanggaran HAM yang harus diperhatikan.

Kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik maupun nonfisik masih terus terjadi dan kian marak, padahal kampanye antikekerasan sudah dilakukan puluhan tahun.

Bahkan, regulasi berupa UU TP-KS pun tak mampu membendung kekerasan terhadap perempuan. Ini membuktikan bahwa, kampanye dan UU TP-KS bukanlah solusi untuk mengatasi persoalan perempuan baik di Indonesia bahkan dunia sekalipun.

Salah dalam Mencari Akar Persoalan

Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan bahwa kasus kekerasan terhadap istri berada di urutan pertama dari mayoritas kasus KDRT/RP dan selalu di atas 70%.

Ia pun menganjurkan agar korban segera melapor, dengan melaporkannya maka siklus kekerasan seksual bisa dihentikan dan korban akan mendapat perlindungan sementara. (detiknews, 1/10/2022)

Fenomena tersebut oleh para pegiat kesetaraan gender disimpulkan bahwa perempuan selama ini berada di bawah kekuasaan laki-laki (kepemilikan). Sehingga, ketika perempuan dipandang sebagai properti, maka jika tidak sesuai dengan seleranya atau bosan, ia pantas dirusak.

Budaya patriarki yang mengikat masyarakat pun harus dihapus sebagai solusinya adalah digaungkan ide kesetaraan. Padahal, faktanya ide ini justru membawa perempuan lebih menderita.

Halaman:

Editor: Rauf Nuryama

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Lemahnya Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Gempa

Sabtu, 14 Januari 2023 | 08:07 WIB

Menilik Makna Penamaan Masjid Al-Jabbar

Kamis, 5 Januari 2023 | 14:10 WIB

PPKM Dicabut, Subvarian Baru Masuk!

Kamis, 5 Januari 2023 | 13:51 WIB

Islam Menciptakan Kerukunan Beragama Yes, Pluralisme No!

Selasa, 27 Desember 2022 | 17:09 WIB

Pesta Mewah disaat Rakyat Susah, benarkah Amanah?

Minggu, 18 Desember 2022 | 13:05 WIB

Benarkah ada Risalah Kebangkitan di Piala Dunia?

Rabu, 14 Desember 2022 | 10:44 WIB

Geng Motor vs Zaid bin Tsabit

Senin, 28 November 2022 | 10:59 WIB

Hati-Hati Liburan, Selain Hujan ada Juga Angin Kencang

Sabtu, 26 Februari 2022 | 16:56 WIB

Bentuk dan Arti Marka Jalan Yang Penting Kamu Ketahui!

Sabtu, 26 Februari 2022 | 15:49 WIB
X