TiNewss.Com - Siapa menyangka, provinsi Jawa Barat masih menyisakan PR besar terkait kemiskinan. Beberapa kabupaten kota di Jawa Barat masih memiliki persentase penduduk miskin. Sepuluh tetinggi yaitu Indramayu 12,77 persen, Kuningan 12,76 persen, Kota Tasikmalaya 12,72 persen, Cirebon 12,01 persen, Majalengka 11,94 persen, Bandung Barat 10,82 persen, Tasikmalaya 10,73 persen, Cianjur
10,55 persen, Garut 10,42 persen, Sumedang 10,14 persen.
Padahal, Jawa Barat masuk urutan kedua provinsi terkaya tahun 2022 di Indonesia dengan APBD 31,54 triliun rupiah. Provinsi yang masuk katagori provinsi terkaya di Indonesia saja, ternyata masih didapati warganya yang miskin. Apalah lagi, daerah-daerah lain yang terkatagori provinsi termiskin, tentu lebih banyak lagi warganya yang miskin.
Dibanding daerah-daerah bagian timur Indonesia, Jawa Barat memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Bisa dibilang, apa yang terdapat dalam lirik grup musik tempo dulu Koes Plus "tanam tongkat dan batu jadi tanaman", bisa terjadi di Jawa Barat.
Baca Juga: Memetik Hikmah Dari Bedah Buku Prof. Dr Sudarman
Apa yang diprioritaskan selama ini, berupa program Jabar Juara, nyatanya tidak dapat mengeluarkan Jawa Barat dari kemiskinan warganya.
Realitas kemiskinan menunjukkan, bahwa kehidupan saat ini tidak menjamin kesejahteraan masyarakat.
Ukuran sejahtera, dihitung secara rata-rata, tidak menyasar individu per individu masyarakat. Sehingga wajar, di tengah kehidupan saat ini, golongan kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin.
Baca Juga: PPDB SMA/SMK di Jabar Perlu Zonasi dan Aturan Lintas Batas Kabupaten, Tokoh Pendidikan: Agar Lebih Santun
Tampaknya, sistem kapitalismelah yang diterapkan di negeri ini. Maka wajar, penerapan Teori Trickle Down Effect yang digagas tokoh kapitalisme Adam Smith, tidak mewujudkan keadilan, yang nyata justru kemiskinan tetap menganga.
Apa yang disebut pertumbuhan ekonomi dalam sistem kapitalisme lebih menekankan aspek produksi, bukan distribusi. Maka wajar, realitas pembangunan terus ditingkatkan, namun kemiskinan terus meningkat. Fenomena tunawisma ditengah gedung-gedung mewah, seolah tidak dapat terelakkan.
Ditambah lagi, kapitalisme meminimalisir peran negara. Sehingga, masyarakat seolah dibiarkan hidup di hutan rimba, berjibaku memenuhi kebutuhan oleh diri masing-masing. Harga kebutuhan pribadi semakin melangit. Demikian pula kebutuhan kolektif masyarakat semisal kesehatan, pendidikan, dan keamanan semakin ekslusif. Siapa yang kuat modal, dialah yang akan bertahan dan berkembang.
Kapitalisme juga lebih menekankan kepada kepemilikan pribadi. Tidak ada batasan kepemilikan yang jelas. Sehingga, aset-aset vital sekalipun, bisa dimiliki oleh individu/swasta, asal memiliki modal.
Sehingga wajar, kemiskinan tidak bisa tertuntaskan. Efeknya tentu akan sangat dirasakan oleh keluarga, sebagai institusi terkecil sebuah bangsa. Penulis sendiri merasakan, harga-harga kebutuhan pokok terus meningkat, sehingga mempengaruhi pemenuhan gizi keluarga. Di sisi lain, biaya pendidikan dan kesehatan berkualitas semakin melangit. Berjibaku dalam pemberdayaan ekonomi, seringkali dilematis, terkait dengan pendampingan pendidikan anak di rumah.
Menyelesaikan problem kemiskinan, tentu dengan menyasar problem mendasarnya, yaitu penerapan sistem kapitalisme saat ini.