Lebih jauh lagi, jasad yang kita miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana yang kita miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali.
Karena itu, sangat mudah untuk membayangkan bahwa jiwa akan terus ada bersama-sama dengan sifat-sifat esensialnya, yang tak tergantung pada tubuh. Karena itu, pengetahuan tentang Allah dan mencintainya, akan abadi.3)
Baca Juga: Kunci Kebahagiaan: Jalan Terjal Menuju Puncak Kebahagiaan (Bagian 6)
Tetapi jika sebaliknya, malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah, adalah juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi sebagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan.
"Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus."4)
Alasan bagi kembalinya ruh manusia merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah, bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang dunia yang lebih rendah ini demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman. "Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku"5), menunjukkan asal samawi jiwa manusia.
Syari'ah tidak menyebutkan satu kata pun tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, bahwa mereka akan musnah.
Dengan demikian, tidak perlu lagi argumen untuk membuktikan bahwa ketika kematian telah mencabut indera-inderanya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti istri, anak, kekayaan, tanah, dan sebagainya, maka ia akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini.
Sebaliknya, jika ia telah meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, maka ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan la yang dicintainya.
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebihan terhadap dunia.
Mungkin ada orang yang berkeberatan, bahwa jika demikian halnya, siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan?
Atas pertanyaan ini, jawabannya bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta terhadap dunia. Tetapi juga bahkan di antara orang-orang yang memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti istri, anak, rumah dan lain sebagainya - masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya.
Baca Juga: Kunci Kebahagiaan: Mengenal Allah (Bagian 5)
Kasus mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal yang ia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat tinggalnya terdahulu.
Dalam jumlah besar, adalah orang-orang yang memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri mereka, sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar setelah kematian, sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Artikel Terkait
Sambut Ramadhan 1444 H, Ibu-Ibu Majelis Taklim di Malang Gelar Kajian Khusus, Ini Tujuannya
Kunci Kebahagiaan: Mengenal Allah (Bagian 5)
Rahasia Keberkahan Istighfar Seri Ke-9 : Mendapatkan Kekuatan Dan Kasih Sayang Karena Istighfar
Kunci Kebahagiaan: Jalan Terjal Menuju Puncak Kebahagiaan (Bagian 6)
Kunci Kebahagiaan: Mengenal Dunia (Bagian 7)