Saya teringat ada sebuah komunitas ojek pangkalan di daerah Bandung Timur yang menerapkan sistem giliran untuk membawa penumpang. Semua tukang ojek (saya sebut begitu agar lebih paham) mengantri seperti mau antri vaksin COVID-19. Antri rapi dan tidak saling serobot. Beda dengan mobil yang antri di kemacetan Tunggul Hideung Sumedang.
Pengemudi lain mengantri lama, tiba-tiba segerombolan mobil lari dari kanan secepat kilat menuju ke depan. Anehnya yang tidak antri ini diberi peluang oleh pemangku kebijakannya.
Ini berbicara keadilan. Yang antri kalah sama yang nekad dan tidak beretika. Yang sabar antri dan beretika malah kalah. Aneh memang. Dunia makin aneh! Dalam berbagai kehidupan, keanehan itu muncul. Yang bagus-bagus dulu, makin hilang. Tergerus dengan yang namanya teknologi, sistem digital. Siapa cepat, dia dapat. Sudah tidak memedulikan lagi sistem kinerja, sabar, dan tentu masa tua. Hilang semua dengan dalih sistem digital. Padahal sistem lama lebih beretika dan bermoral.
Dengan dalih zaman teknologi, orang lewat dihadapan orang tua, sudah tidak merunduk, disangkanya sama kedudukannya, padahal ajaran leluhur yang tanpa peradaban teknologi, lewat ke orang tua sambil membungkukkan badan dan menjulurkan tangan. Sungguh mulia dan rindu model peradaban luhur ini. Model langka di zaman serba digital. Model langka sistem beretika ojek pangkalan ini. Walau lama mengantri, tapi awal akhir akan kebagian pula. Menunggu tetapi ada harapan. Bukan menunggu tak berkesudahan dan tak ada harapan.