Pemerintah Daerah tentu akan mengalami situasi yang tidak mudah dalam mengelola Keuangan Daerah. Apalagi setelah adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat yang mengharuskan Pemerintah Daerah harus mengalokasikan anggaran keuangan daerahnya sebesar 2 persen dari Dana Transper Umum Pemerintah Pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk bantuan angkutan umum, ojek dan nelayan.
Penggunaan 2 persen dana transfer umum berupa DAU dan DBH akibat dari kebijakan Pemerintah Pusat yang menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik bulan depan.
Kondisi demikian sedikit menyulitkan, karena pada saat sekarang banyak Pemerintah Daerah yang sudah menyampaikan rancangan KUA (Kebijakan Umum APBD) perubahan APBD ke DPRD. Tentu kebijakan penggunaan dana 2 persen ini menjadi pembahasan yang alot disaat kondisi keuangan daerah yang belum maksimal.
Pengelolaan Keuangan Daerah tidaklah mudah dalam situasi sulit dan tidak menentu akibat pasca pandemi selama dua tahun yang lalu, dan sekarang akibat situasi geopolitik dunia.
Tentu stuasi yang tidak menguntungkan ini, memerlukan ekstra hati-hati dalam penentuan prioritas kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah. Kalau saja salah langkah, bisa jadi kondisi ini akan memperburuk situasi dan keadaan masyarakat.
Dalam proses penentuan prioritas anggaran, politik anggaran antara DPRD dengan pemerintah daerah harus ekstra hati-hati. Satu sisi banyaknya prioritas yang harus dipenuhi belanjanya, apalagi bila itu berupa mandatory spending yang harus dipenuhi. Di sisi lain dana transfer umum yang berkurang, dan pendapatan asli daerah (PAD) yang mengalami defisit.
Kita bahas dari sisi pendapatan saja dulu. Pendapatan Daerah yang terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Dana ini masih menjadi primadona setiap daerah, karena belum banyak daerah yang bisa mendanai daerahnya dengan porsi terbesar pendapatan dari PAD. Maka ketika DAU ada pengurangan atau adanya kebijakan penggunaan alokasi DAU untuk belanja yang lain, seperti yang 2 persen ini, maka alokasi DAU untuk belanja daerah yang lain akan berkurang.
Dari DAU, porsi terbesar masih untuk memenuhi belanja gaji, dan tunjangan termasuk TPP. Baru sisa yang tidak begitu besar dapat dialokasikan untuk belanja infrastruktur dan lain-lain.
Selain DAU, pendapatan juga ada dari DBH, dan DID (Dana Insentif Daerah). Sementara dana-dana dari DAK, dan Bantuan Keungan Provinsi, alokasi penggunaan anggarannya sudah ada.
Dan tentu Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga mengalami defisit disaat pertumbuhan ekonomi masyarakat belum begitu stabil. Pendapatan dari sektor pajak restoran, dan hotel, misalnya belum begitu pulih akibat pandemi yang melanda dunia.
Kondisi pendapatan yang demikian mengecil, ada beberapa daerah yang sampai terjadi pemangkasan anggaran, salah satunya belanja honor pegawai. Berita yang heboh di salah satu kabupaten yang memangkas belanja honor pegawai yang hanya di bayar setengah tahun, menunjukkan bahwa kondisi keuangan daerah tidak begitu baik.
Situasi demikian, akan lebih menyulitkan manakala banyaknya mandatori spending yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk efisiensi APBD terutama APBD perubahan yang sekarang kebanyakan daerah akan melakukan pembahasan.
Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengevaluasi belanja yang gagal lelang, terindikasi gagal lelang atau belanja yang belum dilaksanakan tetapi bila dilakukan penunandaan pada tahun berikutnya tidak berdampak langsung pada masyarakat. Dari evaluasi ini, tentu ada beberapa anggaran yang bisa direalokasi pada belanja yang super prioritas.
Artikel Terkait
Pemerintah Tingkatkan Anggaran Subsidi dan Kompensasi BBM 3 Kali Lipat, 16 juta Pekerja Termasuk Penerimanya
Banjir Bandang Pakistan, China Umumkan Bantuan 100 Juta Yuan
Jangan Sampai Telat, Pendataan THK II dan Pegawai Non ASN oleh BKN telah Dimulai: Ini Alur Pendataannya!
Viral 414 Kasus HIV di kalangan Mahasiswa Bandung, Ini Kata Ridwan Kamil
Kontroversi Gubernur Jabar dan Wagub Soal Solusi Stop HIV AIDS, UU: Poligami, RK: No!