Well Being Mahasiswa : Makhluk Langka di Angkatan Corona

- Kamis, 9 Desember 2021 | 14:58 WIB
Dr. Diah Gusrayani, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung (TiNewss/Rauf)
Dr. Diah Gusrayani, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung (TiNewss/Rauf)

 

Well-being dipakai tidak hanya sebagai parameter bagi kehidupan suatu masyarakat atau komunitas secara umum, tapi juga dapat diterapkan di dunia pendidikan dan pembelajaran.

Menurut UNICEF (2014) di negara manapun (kaya atau miskin) sekitar 10 % atau 220 juta anak dan remaja telah terdiagnosa mengalami gangguan mental terutama kecemasan, depresi atau kelakuan tak baik (WHO 2003; Global Burden of Disease Study 2010 2012).

Lebih dari separuh anak-anak yang mengalami sakit mental pada masa anak anak akan menderita gangguan mental setelah dewasa yang artinya bahwa kehidupan mereka cenderung tidak bahagia dan dan tidak berkualitas.

Baca Juga: Terkait Guru Perkosa 12 Santriwati di Bandung, Ridwan Kamil Bilang Begini!

Selain itu kesehatan mental juga mempengaruhi kesehatan fisik.

Dari perspetif kemanusiaan ini bukan saja suatu kerugian besar tapi juga beban biaya ekonomi. Di hampir semua negara gangguan mental menurunkan produk domestik bruto (GDP) di atas 5 % (OECD 2014). Well-being adalah seperangkat kemampuan yang bisa diajarkan.

Semua negara berkeinginan agar semua anak mendapatkan pendidikan di sekolah.

Karena itu semua sekolah di dunia ini berkeinginan untuk dapat melakukan hal terbaik untuk dapat mengembangkan rasa well-being anak-anak sekolah mereka, bukan hanya sekedar prestasi akademik sehingga mereka dapat berkembang dengan baik dan hidup sukses.

Baca Juga: Dalam Sehari Kabupaten Sumedang Raih Dua Penghargaan Bergengsi, Ini Dia Rinciannya!

Penilaian internasional seperti Tren Studi Matematika dan Sains Internasional (TIMSS), Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) dan Kemajuan dalam Studi Literasi Membaca Internasional (PIRLS) telah mendorong negara-negara untuk mementingkan hasil akademik di sekolah.

Maka tidak mengherankan jika hasil yang paling banyak difokuskan sekolah adalah yang terkait dengan pembelajaran dan prestasi akademik.

Oleh karena itu, prakarsa reformasi sekolah sering kali mengacu pada perubahan dalam kurikulum atau pedagogi untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

Baca Juga: Dinilai Wanprestasi, PDAM Sumedang Dituntut 11 Miliar oleh Sang Mantan

Namun kurikulum dan pedagogi sering kali didefinisikan secara sempit dalam istilah konten akademis dan mengajar siswa konten tersebut. Namun penelitian tentang pengajaran dan pembelajaran yang efektif menunjukkan bahwa ini bukanlah gambaran yang lengkap.

Mengapa beberapa siswa berprestasi lebih baik daripada yang lain meskipun mereka memiliki kemampuan yang sama? Penelitian menunjukkan bahwa faktor psikologis yang dikemas dalam PROSPER sangat penting untuk mencapai hasil pembelajaran yang positif dan kesuksesan akademis yang berkelanjutan. Siswa yang PROSPER:

Halaman:

Editor: Rauf Nuryama

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Difteri Meninggi, Islam Punya Solusi

Senin, 13 Maret 2023 | 13:03 WIB

Jangan Ada Lagi Perempuan Putus Sekolah

Selasa, 14 Februari 2023 | 13:58 WIB

3 Alasan Perlu Belajar Adab Dulu Sebelum Ilmu

Selasa, 20 Desember 2022 | 14:35 WIB

Liberalisme Biang HIV/AIDS Makin Menggurita

Senin, 12 Desember 2022 | 19:29 WIB

Impor Beras Teratasi dengan Ketahanan Pangan Islami

Sabtu, 10 Desember 2022 | 21:27 WIB

Demokrasi Menyuburkan Penista Agama

Senin, 5 Desember 2022 | 10:41 WIB

Puncak Hari Guru Nasional 2022, Guru di Era Kekinian

Kamis, 1 Desember 2022 | 06:45 WIB

SELINGKUH, Kunci Membahagiakan Diri

Selasa, 1 November 2022 | 07:39 WIB

Niru Siapa?

Kamis, 27 Oktober 2022 | 10:58 WIB
X