Inilah Sosok Etnomusikolog Asal Sumedang Yang Layak Diberi Gelar Pahlawan!

TiNewss.Com - 'Da-Mi-Na-Ti, La-Ti-Na-Mi, La-Da-Mi-Na, Mi-Na-Ti-La', demikian sayup-sayup beberapa anak SD, SMP, SMA seringkali bernyanyi dalam pelajaran titi laras Sunda; pelog dan salendro.

Pada awalnya sebutan Da-Mi-Na-Ti-La itu tidak ada. Penyebutan nada lebih banyak menirukan bunyi suara gamelan;nang-ning-nung-neng-nong.

Namun setelah seorang etnomusikolog asal Sumedang membuat penamaan nada dengan Da-Mi-Na-Ti-La, maka setiap nada mendapatkan identitas sehingga memudahkan para pembelajar dalam membaca titi laras Sunda.

Manfaat penerapan konsep Da-Mi-Na-Ti-La inipun luar biasa. Setelah teori ini muncul, beberapa lagu dan gending dengan mudah dapat dinotasikan, didokumentasikan, dan dibaca ulang di kemudian hari.

Baca Juga: Covid 19 Subvarian XBB Ancam Indonesia, Menkes Budi Gunadi: Mendekati 20 Ribu per Hari

Sehingga, beberapa komponis menggunakan teori titi laras ini pada saat dia mencipta karya. Beberapa komponis besar yang secara mendalam menggunakan teori titi laras Sunda ini, di antaranya, Mang Koko Koswara dan Nano. S.

Hampir semua karya Mang Koko Koswara ditulis ke dalam notasi Da-Mi-Na-Ti-La. Begitupun Nano.S dan kemudian para sarjana lulusan ISBI, UPI Bandung, juga siswa lulusan SMKN 10 Bandung dan jurusan karawitan SMKN 1 Sumedang dari dulu sampai saat ini.

Teori titi laras ini masih diajarkan di sekolah di Jawa Barat, bahkan dikaji oleh etnomusikolog dari luar negeri.

Dalam catatan sejarah, tahun 1927 seorang etnomusikolog Belanda bernama Jaap Kunst, pernah sengaja datang ke Sumedang untuk belajar tentang teori titi laras Sunda. Lalu, dia menuliskan pengetahuan ini dalam buku etnomusikologi yang dia buat.